___ seputartanjunguban.blogspot.com ___
Untuk masalah aktivitas kerja, di Lobam lebih dulu
beraktifitas, ketika ribuan buruh sudah bergerak ke sejumlah perusahaan di
Lobam, di Tanjunguban lelaki dan wanita usia lanjut masih santai berjalan pagi
di Jalan Merdeka, jalan utama di kota itu. Sebelum periode 1960-an, orang-orang
di Tanjunguban hidup di negeri yang serba mewah.
Tapi setelah republik punya aturan sendiri untuk
melakukan pengetatan terhadap distribusi barang dan jasa di perbatasan
Indonesia-Singapura, juga setelah pemerintah republik memutuskan mata uang
dolar Singapura tidak boleh lagi dipakai di Tanjunguban dan Kepri, maka sejak
itu, tiba-tiba kemewahan terengut dari hidup mereka. Setelah itu ekonomi
berjalan lambat. Harapan mulai muncul kembali setelah kawasan industri Lobam
mulai beroperasi sekitar pertengahan dekade 1990-an.
Untuk urusan pagi, memang Lobam boleh lebih awal
dari Tanjunguban. Tapi untuk persoalan sejarah, justru semuanya bermula dari
Tanjunguban. Bagaimana sesungguhnya geliat kota kecil di ujung utara Pulau
Bintan ini, apa yang pernah terjadi di sini, dan bagaimana sejarah kota ini
bermula, Tribun melakukan pembicaraan dengan empat narasumber.
Mereka saling melengkapi kisah hingga terjadinya
sebuah nama Tanjunguban. Mereka adalah Sahat Simajuntak (63) dari Yayasan
Rumpun Usaha Muda Bintan Utara (Rumbu), seorang warga Tanjunguban Muhammad Diah
(72), Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Bintan Utara, Lizan Ahcmad
(60), dan terakhir Basri Muhammad Sidiq (66), yang selama 37 tahun pernah
menjabat sebagai kepala kampung dan Lurah Tanjunguban.
Keempat nara sumber yang ditemui di tiga tempat
terpisah ini ternyata memiliki kesamaan cerita tentang asal kata Tanjunguban yang kemudian dipakai
sebagai nama kota. Ini berbeda misalnya dengan asal kata Tanjungpinang. Ada
sebagian orang yang mengatakan bahwa Tanjungpinang muncul sebagai nama kota
karena di daerah yang berbentuk tanjung ini, banyak tumbuh pohon pinang. Tapi
masih ada sebagian lain yang menyatakan bahwa asal mula nama itu berawal dari
kata tanjung dan api-api nang, yang berarti di sebuah tanjung ada nyala api
kecil yang tampak dari kejauhan.
Tapi di Tanjunguban, tak ada silang pendapat
tentang asal mula nama kota ini. “Ada sebuah pohon yang sudah tua, daun dan
akarnya menjuntai ke bawah dan berwarna putih. Orang yang lihat dari laut,
pohon itu seperti uban. Karena daratan di Tanjunguban, menjorok kelaut,
sehingga disebut tanjung, kata Muhammad Diah, yang diamini oleh Sahat
Simanjuntak, Lizan Achmad dan Basri MS. Pohon itu letaknya di samping Keramat
Tanjunguban. Tapi kini sudah tak tersisa lagi. Dan pohon itu pun tak sempat
diberi nama oleh penduduk. Keempat sumber Tribun itu tak mengerti, ketika
ditanya apa nama pohon tersebut. Yang mereka tahu, pohon itu usianya sudah tua,
dan hanya ada satu di Tanjunguban saat itu.
Tentang Keramat Tanjunguban, diyakini adalah makam
seorang ulama besar yang meninggal dalam perjalanan dari Semenanjung Malaka
menuju Negeri Betawi di Sunda Kelapa. Tapi kemudian Tanjunguban bukanlah kota
tua yang umurnya sudah ratusan tahun. Semua baru bermula sekitar 150 tahun
lalu. Hal ini bisa terlacak dari bangunan tertua yang masih dipertahankan di
kota ini. Adalah Masjid Jami’ Kampung Mentigi. Bangunan yang kini sudah
beberapa kali direnovasi tersebut diperkirakan dibangun pada sekitar tahun
1880, atau sekitar 128 tahun yang lampau.
Tapi kemudian nama Tanjunguban bisa sampai
terdengar di Eropa bersama kapal-kapal tangker yang datang, tak lain karena
entah bagaimana, para penjajah Belanda dalam serikat dagang VOC-nya memutuskan
membangun gudang penyimpanan minyak di Tanjunguban, selain di Pulau Sambu. Dari
sinilah, kapal-kapal tangker asing datang dan pergi, membawa minyak yang
disuplai dari Palembang.
http://trisnoajiputra.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar